Tak Ada yang Lebih Tulus (Nokia 3310, GA Hape Pertama)



Sumber : Google
Berbagi dan menginspirasi
Sore ini tak seperti biasanya, Mas Rian mengajakku ke Café Bambu. Dia diam saja di perjalanan, aku heran dengan tingkahnya, ada masalah apa lagi dia? Bahkan tidak ada seloroh dan candaan sama sekali.
Setiba di café, kami sama-sama diam. Aku mencoba menyelam dalam pikirannya. Ada apa dengan lelaki yang yang ada di depanku? Kenapa dia terlihat pendiam dan sangat murung? Biasanya jika ada masalah, dia selalu menceritakannya padaku, meminta pendapat dan solusi, bahkan dia memintaku untuk menceritakan hal-hal konyol untuknya.
“Bid, aku mau ke Kalimantan!” ucap Mas Rian tiba-tiba ketika pelayan menyajikan pesanan kami.
“Ke Kalimantan? Ninggalin aku?”
“Kamu gak akan sendirian kok! Kamu kan bisa SMS-an ma aku!” Senyum menghiasi wajahnya.
“Aku kan gak punya hape, Mas!”  Aku tak bisa menutupi kesedihan yang terpancar dari wajahku. Ya, aku juga tak ingin ditinggal Mas Rian, seperti Rama yang meninggalkanku tanpa kabar.
“Hape ini milikmu!” kata Mas Rian sambil memberikan handphone Nokia 3310 kepadaku.
Aku tertegun, sama sekali tak menyangka akan mendapatkan hadiah darinya. Memiliki handphone adalah impianku selama ini, agar aku bisa menghubungi Rama. Karena mahalnya barang itu, harga cintaku pun semahal handphone itu. Andai aku punya handphone, mungkin aku masih mendengar kabar Rama sampai saat ini.
“Pastinya, ada nomor handphone Sahru di sana. Dia mau menerimamu kembali. Jadi, kamu tetap bisa bersamanya, walau tanpa aku!”
“Kamu hubungin dia?”
Dia mengangguk, “Aku tak ingin kamu kesepian, apalagi menyimpan luka hanya untuk orang yang tak tahu seberapa besar cintamu padanya!”
         Kupandang mata Mas Rian, meminta kejelasan dari matanya. Mata memang tidak pernah bisa bohong. Di sana, di mata itu kutemukan kaca. Mata itu berkaca-kaca, seolah ingin memberi kepastian bahwa itu adalah caranya untuk mencintaiku.
“Aku mencintamu, Bid. Bahagiamu adalah bahagiaku! Jika kau memang bisa bahagia dengan Sahru, aku pun akan merelakanmu dengannya. Aku akan membantumu sampai kamu bisa mendapatkan kabarnya kembali!” ucapnya dengan tersenyum. Entah itu senyum tulus atau paksaan.
Kata-katanya membuatku tak bisa menahan air mata lagi. Bulir-bulir bening mulai jatuh perlahan di atas ke dua pipiku. Sungguh, aku tak pernah menyangka bahwa cinta Mas Rian padaku sangat besar, sampai dia rela mencari informasi tentang Rama dan memberikan handphonenya padaku agar aku bisa berhubungan dengan Rama.
“Mas … aku tak tahu harus berkata apa! Tapi, terima kasih karena kamu mau mengerti aku. Terima kasih, Mas …! Hiks hiks ….” Aku pun mulai menangis di depannya.
“Bid, jangan pernah menangis lagi. Kalau kamu nangis gini, aku jadi sedih! Bukankah aku melakukan semua ini agar kamu bisa tersenyum? Kalau kamu nangis, sia-sia dong usahaku!” ucapnya pelan sambil mengusap air mataku yang mengalir dengan deras.
“Mas, apa kau pergi ke sana karena ingin melupakanku?”
“Tidak! Kau adalah kenangan terindah buatku. Aku tak mungkin bisa melupakanmu, namun aku juga harus menyadari bahwa aku tak bisa mendapatkan cintamu. Biarlah semua mengalir apa adanya. Nanti, jika Allah menghendaki kita berjodoh, kita pun akan bertemu kembali!”
Ah, Mas Rian. Maafkan aku karena tak bisa mencintaimu. Maafkan aku karena hati ini telah menjadi milik Rama, Sahru Ramadhan. Terima kasih karena ketulusan cintamu padaku, terima kasih karena pengorbananmu padaku. (Baca selengkapnya)

Subscribe to receive free email updates: